Batang Kuantan Dan Sejarah Awal Peradaban Pagaruyung

 

Peninggalan Kerajaan Pagaruyung. Dok : Iqbal Musa


SIJUNJUNG.MINANGTIME.COM, OPINI - Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang berdiri di Sumatera pada abad ke-11 Masehi. Wilayah Pagaruyung meliputi Sumatera Barat, dan Sebagian Riau. Kerajaan Pagaruyung merupakan kerajaan yang bercorak Hindu-Budha pada awalnya, sebelum bertransformasi menjadi kesultanan Islam pada abad ke-17 Masehi. Sampai hari ini sebuah Rumah Gadang megah berdiri di bawah Gunung Bungsu Kabupaten Tanah Datar, dipercaya sebagai replika dari Istana Kerajaan Pagaruyung. Letaknya tepat di bawah kaki Gunung Bungsu, terdiri dari 3 lantai. Bila berdiri di lantai paling atas, akan terlihat pemandangan nagari-nagari yang ada di sekeliling Istana tersebut. Selanjutnya kita akan bercerita mengenai peradaban awal dan cikal bakal berdirinya kerajaan Pagaruyung tersebut.



Pagaruyung adalah hasil percintaan antara kerajaan Dharmasraya dan kerajaan Majapahit. Puteri dari kerajaan Dharmasraya dinikahi oleh Raja Majapahit dan dibawa ke Tanah Jawa, kemudian lahir seorang putera yang diberi nama Adityawarman. Adityawarman ini yang akhirnya melakukan ekspedisi ke tanah kelahiran ibunya di Tanah Sumatera. Beliau berlayar membawa pasukan yang lengkap menuju Selat Malaka, karena pada abad ke-11 tersebut Selat Malak adalah pelabuhan besar dan pusat perdagangan dan perlintasan di bumi Nusantara. Sementara pantai Barat Sumatera pada masa itu belum tersentuh sama sekali oleh peradaban.


Beliau masuk menerobos Selat Malaka melalui Sungai Indragiri terus masuk sampai ke Batang Kuantan, terus menerobos anak-anak Sungai batang Kuantan. Dari Batang Kuantan terus menerobos ke anak sungainya yang bernama Batang Ombilin, masuk lagi ke dalam anak Sungai yang lebih kecil ke Batang Sinamar. Di Batang Sinamar ini beliau beristirahat dan melakukan pengujian terhadap daerah yang baru beliau singgahi, layak atau tidaknya daerah tersebut untuk dihuni. Singkat cerita, ternyata daerah di tepian Batang Sinamar tersebut layak untuk dihuni, daerah tersebut bernama Biaro. Sampai saat ini nama tempat tersebut masih bernama Biaro, dan ada beberapa tinggalan artefak yang bisa kita temui di Biaro tersebut.


Akhirnya Adityawarman bermukim di Biaro tersebut dan mulai menata penghidupannya. Diturunkan semua peralatan dan perlengkapan dari kapal. Juga ada sebuah telur yang beliau bawa dari tanah Jawa. Singkat cerita telur tersebut menetas, dan ternyata yang ditetaskan adalah anak Buaya. Karena dibawa jauh dari tanah Jawa, akhirnya Buaya tersebut di pelihara di sebuah kolam disamping rumahnya di Biaro. Dari kecil Buaya tersebut di pelihara oleh Adityawarman sampai besar dan bermain-main dengan anaknya Adityawarman. Sampai Buaya tersebut memakan anaknya Adityawarman yang masih kecil, dan Buaya tersebut lari dari kolam ke Batang Sinamar. Adityawarman sangat cemas dan marah, dan melakukan sayembara, siapa yang bisa membunuh Buaya tersebut akan diberi hadiah dan status yang tinggi.


Banyak orang terlibat sayembara yang diadakan oleh Adityawarman, namun tak seorangpun bisa membunuh Buaya yang memakan anaknya tersebut. Sampai akhirnya seseorang yang mengaku sebagai orang yang sangat sakti dating menghadap Adityawarman, beliau mengatakan bahwasanya sanggup membunuh buaya yang memakan anaknya Adityawarman. Pengejaran pun dimulai, orang sakti itu masuk ke dalam Batang Sinamar dan memburu buaya itu. Beberapa kali orang sakti itu menghunuskan pedangnya, namun buaya itu lebih gesit dari ayunan pedangnya. Pengejaran terus dilakukan, sampai akhirnya buaya itu merasa lelah dan itu adalah kesempatan yang baik untuk membunuh Buaya tersebut. Orang sakti itu tidak ingin berlama-lama membuang waktunya, di hunuskan pedang tersebut membelah Buaya itu, seketika Buaya itu tidak bergerak lagi, dan di belahnya perut Buaya itu, terlihatlah tubuh anak dari Adityawarman di dalamnya yang sudah tidak bernyawa.


Lalu orang sakti itu mengambil mayat anak dari Adityawarman itu dan membawanya ke Biaro, ke hadapan Adityawarman. Walaupun sedih, Adityawarman tampak puas, karena Buaya yang memakan anaknya sudah di bunuh, dan anaknya ditemukan walaupun dalam keadaan tak bernyawa. Orang sakti itu diberi harta dan kehormatan dan berhak menyandang gelar Datuak Rajo Dubalang. Gelar itu masih terus lestari sampai hari ini.


Akhirnya anak Adityawarman dikebumikan di Biaro. Sampai hari ini masih bisa kita lihat, makam anak dari Adityawarman di daerah Biaro, Kumanih tersebut. Lalu Adityawarman menyuruh pasukannya untuk memagar dasar Batang Sinamar yang berada di depan istananya di Biaro. Hal tersebut dikenal dengan “Sumpah Pagar Ruyung”, setiap Buaya yang melewati batas Pagar Ruyung itu nanti, maka Buaya tersebut akan melemah, dan perlahan-lahan akan mati. Pagar Ruyung tersebut masih bisa kita jumpai di Batang Sinamar tersebut.


Beberapa waktu telah berlalu, dan Adityawarman sering termenung menatap aliran air Batang Sinamar. Bahkan ia sering tidak makan karena larut dalam kecamuk yang ada di kepalanya, hal ini perlahan-lahan membuat kondisi Adityawarman melemah. Orang terdekat beliau menemui Adityawarman dan mengatakan bahwa mereka harus pindah dan mencari lokasi baru, yang jelas lokasi tersebut berada di ketinggian dan jauh dari sungai. Karena bila berada di dekat Sungai, Adityawarman akan terkenang dengan anaknya yang di makan Buaya, sehingga membuat Aditawarman berkecamuk di dalam hati dan pikiran.


Pasukan Adityawarman mulai berkemas, ekspedisi kali ini menggunakan jalur darat, Kuda, dan Pedati sudah dipersiapkan. Akhirnya Adityawarman dan pasukannya pamit kepada masyarakat di Biaro dengan haru, karena meninggalkan seorang anak yang terkubur di daerah tersebut. Akhirnya dimulai perjalanan darat mencari tempat bermukim bagi Adityawarman dan pasukannya. Perjalanan darat yang membelah rimba pedalaman pulau Andalas (Sumatera). Dan setelah lelah menempuh perjalanan tersebut, akhirnya ditemukan tempat yang tepat untuk bermukim. Di daerah di bawah Gunung Bungsu, Tanah Datar. Tempat inilah kemudian berdiri kerajaan Pagaruyung. Sampai Beberapa abad kemudian, dan ditaklukkan oleh kaum Paderi.


Beberapa tinggalan yang masih tersisa di daerah Biaro Kumanih adalah batu yang bertuliskan aksara kuno berisi tentang Sumpah Pagar Ruyung. Kemudian kuburan anak raja (anak dari Adityawarman) masih bisa kita jumpai sampai hari ini. Kemudian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan riset di Biaro Kumanih pada tahun 2017. Kesimpulan dari riset tersebut ialah, Biaro mempunyai peradaban yang tua, bahkan pohon kayu yang berada di dekat makam anak Adityawarman diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. Kemudian tinggalan berupa batu-batu kuno, dan corak batik yang ditemukan dalam naskah kuno merupakan tinggalan dari peradaban awal Pagaruyung. Corak batik itu kemudian diangkat kembali dan dilestarikan oleh pemerintahan nagari Kumanih. Kemudian pemerintahan nagari Kumanih mematenkan corak batik tersebut sebagai corak batik asli Kumanih.


Peradaban Pagaruyung awal meninggalkan sisa-sisa peradaban di Biaro Kumanih, dan tentu saja itu mempunyai dampak terhadap masyarakat Kumanih. Corak batik sisa peninggalan masa lalu tersebut mulai di produksi menggunakan tangan-tangan terampil masyarakat Kumanih, kemudian di pasarkan secara luas. Selain melestarikan corak batik dari masa lalu, hal tersebut juga membantu perekonomian masyarakat nagari Kumanih. Selain cerita, Pagaruyung meninggalkan peradaban yang agung di bumi Kumanih. Pagaruyung adalah percintaan Jawa dan Sumatera yang dijembatani oleh Batang Sinamar, Batang Ombilin, Batang Kuantan, yang terus bermuara di Selat Malaka menjadi peradaban baru di bumi Nusantara.


Penulis : Iqbal Musa

0 Komentar