Mutia Rahmi : Meningkatnya Kasus Kekerasan Anak Di Sijunjung Harus Menjadi Perhatian Khusus

Mutia Rahmi (kiri) Bersama Komisioner KPAI Mbak Ai Maryati Solihah.


SIJUNJUNG.MINANGTIME.COM, SIJUNJUNG - Sejak tiga tahun terakhir kasus pelecehan seksual terhadap anak di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat, terus mengalami peningkatan. Kasus terbanyak ditemukan terjadi antara tahun 2021 sampai 2022


Hebohnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur saat ini sudah meresahkan masyarakat. Melihat dari kacamata aktivis perempuan Sumatera Barat, Mutia Rahmi mencatat bahwa kasus kekerasan anak di Sijunjung ini terjadi oleh pelaku semua kalangan mulai dari dukun, guru, ayah tiri, paman dan juga pengangguran.


“Kasus pelecehan seksual pada anak juga dipicu karena tidak adanya ruang aman bagi korban, bahkan di rumahnya sendiri, terlihat dari kasus yang ada,” kata Mutia Rahmi aktivis Fatayat NU, Kamis (28/07/2022).


Menurutnya hal ini terjadi disebabkan oleh dua hal. Pertama faktor internal, karena kurangnya perhatian keluarga terhadap kondisi kekinian si anak, karena orang tua terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ini merupakan permasalahan yang berawal dari hulunya, selanjutnya karateristik dibentuk berdasarkan dari pola yang di lakukan pembinaan dan pendekatan terhadap anak baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan pendidikan.


“Ini menandakan penting dalam pembinaan lingkungan keluarga untuk pembentukan jadi diri seorang anak, persoalan inilah yang harus kita carikan solusinya untuk mengatasi persoalan yang tengah terjadi saat ini,” ujar sosok ibu dua orang anak tersebut.


Apalagi faktor yang berasal dari perkembangan teknologi dan globalisasi, sehingga memberi energi negatif pada anak yang merasuk bak virus menyembab dalam daging. 


Mutia Rahmi menambahkan, kendatipun adat budaya nan kawi di Minangkabau sesuai falsafah "Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah" sangat kuat dalam menangkal ancaman ancaman moral, kalau dalam interaksi keluarga, maka urutan secara ranji ninik mamak berlaku “hukum” kaum paga kaum, suku paga suku, nagari paga nagari, jorong paga jorong. Artinya di dalam lingkungan itu akan terbentuk suatu kualitas hubungan yang harmonis, sehingga akan menimbulkan rasa memiliki bersama.


Mutia menyayangkan fenomena hari ini dalam merawat adat dan budaya banyak terkikis dan lapuk dan tak bisa membenteng ancaman tersebut. "Yah, ninik mamak bakato ninik mamak, kamanakan bakato kamanakan pula. Inilah yang menjadi benang merahnya, sehingga timbullah hidup nafsi-nafsi atau individualitas," ujarnya.


“Kalau hidup sudah menonjolkan individualitas maka raso dibaok naiak, pareso dibaok turun tidak ada lagi, atau tidak ada lagi ranji dalam kaum atau kumpulan keluarga – Keluarga dalam sistem suatu suku, bahkan ruang saiya dan sekata semalu dan sesumur musnah. Makanya berbicara hari ini didalam rumah termasuk ancaman juga. Kalau dulu Rumah Gadang marwah dan selalu menjaga derjat mamak dan kamanakan," kata Mutia yang juga alumni Academy SDG Indonesia. 


Sementara itu, Mutia berharap kepada stakeholder untuk memperhatikan kasus yang merongrong masa depan negeri ini, dengan bergandeng tangan pemerintah, ninik mamak dan ulama serta pemuda untuk duduk bersama mencari problem solving. Supaya negeri ini bisa menjadi kategori layak anak dan aman dari cengkraman virus murka ini.


"Saya hanya bisa berharap, ada ruang interaksi antar pemilik kebijakan dan pelaku kebijakan, karena selama ini ruang-ruang itu tertutup hingga masalah belum terselesaikan dengan cepat dan maksimal. Apalagi kita orang minang suka berinteraksi dan duduk bersama mencari solusi. Insyallah rumah pun bukan ancaman dan lingkungan luar semakin aman dan masyarakat tentram dalam menjaga masa depan," pungkas Sarjana Pendidikan UIN Suska Riau. (Zaki)

0 Komentar